Memiliki energi yang cukup bagi seluruh rakyat Jepang dan tidak bergantung kepada pasokan negara lain merupakan impian Negeri Matahari Terbit. Berdasarkan analisis pemerintah, Jepang akhirnya fokus mengembangkan energi matahari atau energi surya sebagai upaya berswasembada energi. Matahari adalah energi gratis dan tidak menimbulkan pencemaran sehingga sangat cocok. Jepang telah berupaya membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya di daratan. Tahap berikutnya, luar angkasa pun menjadi salah satu yang harus dijangkau.
Jepang telah lama memimpikan dapat memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ruang angkasa untuk melistriki Negeri Sakura. Jepang telah menugasi badan antariksanya (Japan Aerospace Exploration Agency/JAXA) untuk melakukan riset dan mewujudkan impian itu. Berbagai upaya telah dilancarkan oleh JAXA, termasuk riset-riset yang mendalam dan serius.
Keseriusan Jepang untuk memanen energi surya (energi matahari) di ruang angkasa dilandasi oleh dua hal, yaitu keterbatasan sumber daya energi secara umum (energi fosil) dan keterbatasan lahan untuk memasang panel surya. Selama ini, Jepang memenuhi kebutuhan energinya dengan mengimpor minyak dan gas. Jepang juga sangat bergantung kepada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pengembangan PLTS ruang angkasa ini merupakan upaya Jepang Agar bisa terlepas dari ketergantungan akan energi fosil dan nuklir.
Khusus untuk nuklir, Jepang memang secara bertahap ingin agar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) semuanya diganti. Langkah ini ditempuh setelah terjadi tragedi di PLTN Fukushima. Tragedi ini telah memberikan dampak sangat buruk kepada manusia dan lingkungan. Paca Fukushima, masyarakat dan Pemerintah Jepang sangat semangat mencari berbagai alternatif pemenuhan energi selain nuklir. Sebab, kecelakaan Fukushima membuat Jepang sadar akan bahaya Nuklir (fisi) bagi manusia. Secanggih apapun teknologinya, dan sedisiplin apapun orangnya, tidak bisa membuat PLTN 100 persen aman. Mengutip prinsip safety di dunia penerbangan, "Tidak ada yang namanya Zero Accident". Jadi, memiliki PLTN sama artinya dengan memiliki satu potensi bahaya. Bahaya ini bisa benar-benar terjadi, entah karena kesalahan atau kelalaian manusia (human error), atau dipicu oleh bencana, atau kecelakaan, atau serangan teroris, dan lain-lain.
PLTS ruang angkasa (Space-base solar power/SBSP) adalah sebuah konsep PLTS berbentuk satelit yang ditempatkan di 36.000 meter dari permukaan bumi. SBSP berawal dari konsep sistem satelit PLTS (Satellite Solar-Power System/SPSS). PLTS di ruang angkasa dapat menerima sinar matahari 24 jam selama setahun penuh, tidak seperti di bumi yang ada siang-malam dan hambatan cuaca lainnnya. Kelebihan lainnya, intensitas energi matahari bisa diterima lebih besar dibandingkan di bumi yang memiliki hambatan atmosfir, debu, dan lain-lain.
Pemerintah Jepang optimistis atas listrik dari PLTS ruang angkasa ini bisa dimanfaatkan di Negeri Sakura. Berdasarkan pemikiran ilmuwan, listrik hasil PLTS ruang angkasa ini sangat-sangat bisa ditransfer ke bumi. Beberapa metode diyakini bisa mewujudkan hal ini, diantaranya transfer listrik menggunakan gelombang mikro. Melalui metode ini, listrik diubah menjadi gelombang mikro lalu dipancarkan di bumi. Gelombang ini diterima di stasiun penerima dan diubah lagi menjadi listrik. Metode lain yang disebut-sebut bisa juga mewujudkan hal ini adalah transfer listrik melalui sinar laser.
Ide utama dari PLTS ruang angkasa ini sudah ada sejak awal tahun 1941, atau saat diterbitkannya cerita fiksi ilmiah (science fiction short story) berjudul "Reason" oleh Isaac Asimov. Dalam cerita tersebut digambarkan manusia mentransfer energi matahari ke beberapa planet. Transfer dilakukan dari pangkalan ruang angkasa. Transfer energi listrik ke planet-planet ini memungkinkan manusia melakukan kolonialisasi planet-planet yang ada di antariksa.
Merujuk pada ide transfer listrik, sebenarnya Nikola Tesla pada tahun 1900-an telah mengembangkan ide tentang transfer listrik tanpa kabel. Tesla bahkan telah membangun Menara Wardenclyfee atau sering disebut Menara Tesla. Menurut ilmuwan Amerika ini, listrik bisa ditransfer melalui menara ini ke seluruh penjuru dunia. Namun, ide ini ditolak karena tidak bisa memenuhi unsur komersialitas, terutama bagi investor yang membangun pembangkit listrik. Sebab, semua orang bisa mengambil listrik jika memiliki antena penerima walaupun tidak memiliki meteran listrik. Selanjutnya, ide PLTS ruang angkasa mulai diriset secara serius pada periode awal 1970-an.
Mimpi Jepang sepertinya mulai mendekati kenyataan. Awal tahun 2015 lalu, JAXA mengumumkan Mitsubishi Havy Industries telah berhasil menciptakan alat yang sukses mengirim energi tanpa kabel. Mitsubishi berhasil mengirim 1,8 kilowatt listrik dari jarak 1.640 kaki melalui udara tanpa kabel. Mitsubishi menggunakan teknologi gelombang mikro (microwave) untuk proses transfer listrik tersebut. Energi listrik ini setara dengan menyalakan oven listrik selama satu jam atau lebih.
Keberhasilan Mitsubishi ini membuat Pemerintah Jepang semakin optimistis atas prospek PLTS ruang angkasa bagi kesejahteraan masyarakat Negeri Sakura. JAXA secara resmi telah mengumumkan bahwa Jepang mampu memanen energi surya dari ruang angkasa untuk digunakan di Negeri Matahari pada tahun 2030. Saat ini, Jepang sedang mengatasi sejumlah tantangan teknologi untuk mewujudkan hal itu.
Namun, pemikiran tentang memanen energi matahari di ruang angkasa ternyata bukan hanya keinginan Jepang saja. Amerika Serikat ternyata lebih optimistis. Apalagi Negeri Paman Sam ini telah memiliki infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni di bidang antariksa. Bahkan, Lembaga antariksa Amerika Serikat (NASA) telah melakukan penelitian serupa. NASA berjanji akan mengeluarkan prototipe PLTS ruang angkasa yang siap diluncurkan ke ruang angkasa pada 2025.
Perlombaan membangun PLTS ruang angkasa semakin ketat dengan pernyataan Pemerintah India yang juga ingin melakukan hal serupa. India juga menargetkan tahun 2030 bisa mewujudkan hal itu. Memang India lebih pesimistis dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang. Namun, program antariksa India telah mengalami banyak kemajuan.
Negara mana yang paling dahulu meluncurkan PLTS antariksa masih menjadi tanda tanya. Kepastian Amerika Serikat akan meluncurkan prototipe PLTS Antariksa pada tahun 2025 mulai dipertanyakan. Sebab, saat ini NASA mengalami masa sulit karena ada pemotongan anggaran. Sehingga, banyak proyek ruang angkasa tertunda dari jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaannya, apakah PLTS ruang angkasa milik Amerika Serikat juga akan mengalami penundaan. Hanya waktu yang akan menjawab hal ini. Dunia sedang menanti siapa yang pertama bisa mewujudkan PLTS ruang angkasa tersebut.
Oleh : ahmad senoadi
Dari berbagai sumber.
0 comments