Berdasarkan informasi dari Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam, tiga entitas bisnis itu meliputi Pupuk Indonesia, Bosowa, dan PT Pertamina. Ketiganya, belum mengajukan izin ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).“Kami harap setidaknya satu pabrik sudah ada pada 2017, supaya jadi contoh buat yang lain. Ini kami kawal terus supaya jelas realisasinya,” ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.
Kemajuan yang lebih baik dilakukan PT Pertamina (persero). BUMN migas ini telah memiliki rencana yang sudah lebih matang. Untuk hilirisasi batubara, perusahaan pelat merah tersebut akan membentuk anak perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan pertambangan lokal serta perusahaan asal China.“Mereka ini sepertinya sudah sangat serius. Pengolahannya juga sampai ke bahan baku plastik, polietilena dan polipropilena. Jadi tidak putus di metanol,” katanya.
Namun, Kementerian Perindustrian belum dapat memastikan jumlah investasi yang akan dikeluarkan oleh perusahaan joint venture Pertamina dan China. Kementerian Perindustrian hanya mengetahui bahwa keduanya akan membangun pabrik dengan kapasitas metanol sebesar 400.00 ton – 500.000 ton per tahun. Pembangunan pabrik akan membutuhkan dana investasi hingga US$1,6 miliar.“Kalau ujungnya mau diolah lagi, dengan metanol segitu bisa menghasilkan 350.000 ton – 400.000 ton polipropilena, itu mungkin bisa dua kali lipat hingga US$3 miliar,” paparnya.
Langkah PErtamina bisa menjadikan BUMN migas tersebut memiliki fasilitas produksi yang mengolah batubara menjadi bahan baku plastik. Efisiensi perusahaan baru bisa meningkat, begitu juga dengan nilai tambahnya. Salah satu keuntungan lain adalah ongkos distribusi yang lebih rendah.“Kalau metanol itu kan transportasinya harus dingin. Dia harus dibuat cairan dulu, sama seperti Liquefied Natural Gas (LNG). Kalau sudah tuntas hingga jadi polipropilena bentuknya kan sudah butiran atau chip,” katanya.
Pengaruhi Jepang dan Malaysia
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, mengungkapkan selama ini Indonesia menjadi pemasok energi untuk menggerakan industri di beberapa negara Asia, terutama Jepang dan Malaysia. Adanya kebijakan hilirisasi pertambangan mengakibatkan terganggunya kegiatan industri di kedua negara itu. "Tanpa disadari ekspor batubara kita memberi amunisi mereka untuk menggerakkan sektor ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Malaysia menggunakan batubara yang 60% diantaranya berasal dari Indonesia,” ujarnya di Jakarta.
Di sisi lain, lanjut Ahmad, pemerintah Malaysia sudah mencium aroma rencana hilirisasi pertambangan Indonesia. Hal itu mendorong mereka segera mengubah haluan konsumsi energi. Malaysia langsung menyusun peta jalan (roadmap) energi dalam mengantisipasi kebijakan hilirisasi mineral di Indonesia.
Dalam roadmap tersebut, Malaysia sigap melakukan konversi energi. Ia mengatakan bahwa Malaysia telah mulai mengubah kebutuhan energi batubara dengan memanfaatkan nuklir. Namun begitu, untuk mencukupi kebutuhan batubara yang tak bisa dihindari, Malaysia membeli ladang batubara di kawasan tertentu di Indonesia. “Kebijakan hilirisasi melalui peningkatan nilai tambah secara tidak langsung menghentikan amunisi mereka untuk menggerakan industri. Mereka membeli ladang agar hasil produksinya bisa diekspor,” tambah Ahmad.
Sementara itu, Jepang telah menunjukan rencana untuk mengajukan keberatan ke World Trade Organization (WTO) terkait dengan penerapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebab, Negeri Matahari Terbit itu merupakan rumah bagi beberapa produsen stainless steel terbesar di dunia. Kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah dari Indonesia membuat negara itu harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan nikel dari negara lain. Menanggapi kondisi industri dua negara sahabat itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar,menjelaskan bahwa sudah ada sosialisasi sebelumnya. Ia mengingatkan, sejak tahun 2005 lalu kementeriannya telah melakukan pemberitahuan kepada kedua negara. Dengan demikian, sudah selayaknya mereka mempersiapkan diri.
“Kebijakan hilirisasi mineral dalam bentuk larangan ekspor mineral mentah sudah disosialisasikan kepada pengusaha pertambangan sejak lama. Bahkan sosialisasi juga dilakukan ke Jepang agar kalangan industri disana melakukan sejumlah antisipasi. Tahun 2005 kami sudah sosialisasikan ke Jepang. Mereka sudah tahu. Kami katakan, kami juga ingin maju seperti Jepang," tegasnya.
Sukhyar mengakui, kebijakan yang diputuskan oleh pihaknya memang 'memukul' industri di Malaysia dan Jepang. Dia menyebut industri di Negeri Jiran harus mencari alternatif pasokan batubara yang selama ini diimpor dari Indonesia. Sedangkan Jepang, harus menerima kenyataan tidak lagi mendapat pasokan bijih nikel dari Indonesia.
Terhadap ancaman Jepang akan melaporkan Indonesia ke WTO, Sukhyar mengatakan pemerintah siap menghadapinya. Saat ini, ia menjelaskan belum ada gugatan secara resmi yang ditujukan kepada Indonesia. Hanya saja, Sukhyar melihat sudah ada geliat Jepang untuk mempermasalahkan kebijakannya dalam ranah hukum internasional. "Jepang akan membawa masalah larangan ekspor ini ke WTO. Kami siap menghadapi rencana itu. Jika sampai ke Arbitrase, kita harus siap," ujarnya.
Efek Domino
Era kejayaan ekspor sumber daya alam (SDA) mentah sudah berakhir. Walau sebenarnya pasar internasional masih membutuhkan. Indonesia sendiri telah melarang ekspor sumber daya alam terutama hasil pertambangan mentah sejak terbitnya Undang-Undang No 4 Tahun 2009, tentang Mineral dan Batubara tersebut. Era kekinian adalah masanya ekspor bahan baku, bahan baku penolong, atau bahan jadi, sehingga memiliki nilai tambah.
Sekretaris, Direktortar Jenderal Industri Kimia-Tekstil dan Aneka mengatakan, hilirisasi industri merupakan hal yang sangat penting. “Hilirisasi mempercepat pertumbuhan ekonomi” ucapnya, dalam satu diskusi, di Bandung baru-baru ini. Pasalnya, dalam hilirisasi pertambangan, terdapat pendalaman dan penguatan struktur industri Indonesia. Selain itu kesempatan kerja akan semakin luas, mengingat tumbuhnhya pabrik-pabrik pemurnian dan pengolahan, melalui percepatan penyebaran industri ke seluruh NKRI. “Devisa kita juga akan mengalamai penghematan, karena ada subsitusi impor,” ucapnya.
Adanya nilai tambah di dalam negeri, serta peningkatan penerimaan devisa melalui eskpor bahan baku, bahan baku penolong dan bahan jadi. Hilirisasi industri ini tak hanya menitikkan pembangunan industri hilir petambangan saja. Hilirisasi industri juga menyasar pendalaman industri pada sektor pertanian, logam dasar, bahan galian bukan logam, industri kimia dasar berbasi migas dan batubara. Dalam catatan kementerian perindustrian, kata Taufik, rencana pembangunan industri berbasis migas batubara dan mineral logam meliputi seluruh wilayah Indonesia. Begitu juga dengan industri berbasis pertanian.
Di provinsi Aceh akan dibangun pusat industri kimia berbasis batubara, seperti metanol dan avenia. Sementara di Sumatera Utara terutama di Kabupaten Batubara, akan dipusatkan menjadi kawasan industri berbasis minyak bumi. Seperti aluminium alloy dan wire rod. Sementara di kawasan Kabupaten Simalungun, tak jauh dari Kabupaten Batubara, pemerintahan periode lalu telah membangun kawasan industri agro Sei Mangke. “Di sana terdapat pengolahan kelapa sawit,” ucapnya.
Di Kalimantan Barat industri berbasis Bauksit, Kalimantan Timur berbasis Batubara, di Papua Barat berbasis gas alam. Sumatera Selatan dan Lampung berbasis Batubara, sementara Jawa Timur berbasis mineral tembaga. Di propinsi Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan serta Nusa Tenggara Barat juga akan dibangun sentra industri kakao.
Oleh : Ahmad Senoadi
Dari berbagai sumber.
Sementara itu, Jepang telah menunjukan rencana untuk mengajukan keberatan ke World Trade Organization (WTO) terkait dengan penerapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebab, Negeri Matahari Terbit itu merupakan rumah bagi beberapa produsen stainless steel terbesar di dunia. Kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah dari Indonesia membuat negara itu harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan nikel dari negara lain. Menanggapi kondisi industri dua negara sahabat itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar,menjelaskan bahwa sudah ada sosialisasi sebelumnya. Ia mengingatkan, sejak tahun 2005 lalu kementeriannya telah melakukan pemberitahuan kepada kedua negara. Dengan demikian, sudah selayaknya mereka mempersiapkan diri.
“Kebijakan hilirisasi mineral dalam bentuk larangan ekspor mineral mentah sudah disosialisasikan kepada pengusaha pertambangan sejak lama. Bahkan sosialisasi juga dilakukan ke Jepang agar kalangan industri disana melakukan sejumlah antisipasi. Tahun 2005 kami sudah sosialisasikan ke Jepang. Mereka sudah tahu. Kami katakan, kami juga ingin maju seperti Jepang," tegasnya.
Sukhyar mengakui, kebijakan yang diputuskan oleh pihaknya memang 'memukul' industri di Malaysia dan Jepang. Dia menyebut industri di Negeri Jiran harus mencari alternatif pasokan batubara yang selama ini diimpor dari Indonesia. Sedangkan Jepang, harus menerima kenyataan tidak lagi mendapat pasokan bijih nikel dari Indonesia.
Terhadap ancaman Jepang akan melaporkan Indonesia ke WTO, Sukhyar mengatakan pemerintah siap menghadapinya. Saat ini, ia menjelaskan belum ada gugatan secara resmi yang ditujukan kepada Indonesia. Hanya saja, Sukhyar melihat sudah ada geliat Jepang untuk mempermasalahkan kebijakannya dalam ranah hukum internasional. "Jepang akan membawa masalah larangan ekspor ini ke WTO. Kami siap menghadapi rencana itu. Jika sampai ke Arbitrase, kita harus siap," ujarnya.
Efek Domino
Era kejayaan ekspor sumber daya alam (SDA) mentah sudah berakhir. Walau sebenarnya pasar internasional masih membutuhkan. Indonesia sendiri telah melarang ekspor sumber daya alam terutama hasil pertambangan mentah sejak terbitnya Undang-Undang No 4 Tahun 2009, tentang Mineral dan Batubara tersebut. Era kekinian adalah masanya ekspor bahan baku, bahan baku penolong, atau bahan jadi, sehingga memiliki nilai tambah.
Sekretaris, Direktortar Jenderal Industri Kimia-Tekstil dan Aneka mengatakan, hilirisasi industri merupakan hal yang sangat penting. “Hilirisasi mempercepat pertumbuhan ekonomi” ucapnya, dalam satu diskusi, di Bandung baru-baru ini. Pasalnya, dalam hilirisasi pertambangan, terdapat pendalaman dan penguatan struktur industri Indonesia. Selain itu kesempatan kerja akan semakin luas, mengingat tumbuhnhya pabrik-pabrik pemurnian dan pengolahan, melalui percepatan penyebaran industri ke seluruh NKRI. “Devisa kita juga akan mengalamai penghematan, karena ada subsitusi impor,” ucapnya.
Adanya nilai tambah di dalam negeri, serta peningkatan penerimaan devisa melalui eskpor bahan baku, bahan baku penolong dan bahan jadi. Hilirisasi industri ini tak hanya menitikkan pembangunan industri hilir petambangan saja. Hilirisasi industri juga menyasar pendalaman industri pada sektor pertanian, logam dasar, bahan galian bukan logam, industri kimia dasar berbasi migas dan batubara. Dalam catatan kementerian perindustrian, kata Taufik, rencana pembangunan industri berbasis migas batubara dan mineral logam meliputi seluruh wilayah Indonesia. Begitu juga dengan industri berbasis pertanian.
Di provinsi Aceh akan dibangun pusat industri kimia berbasis batubara, seperti metanol dan avenia. Sementara di Sumatera Utara terutama di Kabupaten Batubara, akan dipusatkan menjadi kawasan industri berbasis minyak bumi. Seperti aluminium alloy dan wire rod. Sementara di kawasan Kabupaten Simalungun, tak jauh dari Kabupaten Batubara, pemerintahan periode lalu telah membangun kawasan industri agro Sei Mangke. “Di sana terdapat pengolahan kelapa sawit,” ucapnya.
Di Kalimantan Barat industri berbasis Bauksit, Kalimantan Timur berbasis Batubara, di Papua Barat berbasis gas alam. Sumatera Selatan dan Lampung berbasis Batubara, sementara Jawa Timur berbasis mineral tembaga. Di propinsi Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan serta Nusa Tenggara Barat juga akan dibangun sentra industri kakao.
Oleh : Ahmad Senoadi
Dari berbagai sumber.
0 comments