Indonesia ternyata memiliki potensi energi terbarukan (renewable energi) yang sangat besar. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 801,2 Giga Watt (GW) atau 801.200 Mega Watt (MW). Ini adalah potensi yang sangat luar biasa dan lebih dari cukup untuk dimanfaatkan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Sumber : ESDM, diakses 2016.
Tapi, dari potensi yang luar biasa ini, yang baru dimanfaatkan sebanyak 8,66 GW atau sekitar 1% saja. "Pemanfaatan energi terbarukan baru 1% dari potensi 801,2 GW atau sekitar 8,66 GW artinya hampir utuh karena nggak dipakai," ujar Direktur Jenderal EBTKE, Rida Mulyana, dalam Sarasehan Media, di Hotel Neo Plus Green Savana, Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/5/2016).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan energi laut yang tercatat mencapai 18 GW. Dari potensi ini baru dimanfaatkan sebesar 0,3 MW atau sekitar 0,002 persen. Dari segi negara beriklim tropis dan dilewati garis katulistiwa potensi energi terbarukan seperti air, angin, surya, dan bioenergi juga sangat besar. Tenaga air saja tercatat 75 GW,sementara yang termanfaatkan baru 5,02 GW atau sekitar 7 persen. Tenaga angin sebesar 113,5 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 6,5 MW atau 0,01 persen.
Tenaga Surya yang digadang-gadang dunia sebagai energi terbarukan terbaik di Indonesia tercatat potensinya 532,5 GWp, dan baru dimanfaatkan 0,08 GWp. Berikutnya bioenergi, sebagai negara yang subur potensi Indonesia tercatat 32,6 GW dan baru dimanfaatkan 1,74 GW atau sekitar 5,3 persen.
Lokasi geografis Indonesia yang unik, yaitu berada pada “Ring of Fire” menjadikan negara ini memiliki potensi panas bumi yang terbesar di dunia yaitu 40% dari potensi dunia. Indonesia terletak di lempengan tektonik bumi yang sangat aktif, yaitu di antara lempeng tektonik Indo-Australia, Pasifik, Filipina, dan Eurasia. Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrotermal yang mempunyai suhu tinggi, yaitu lebih dari 225°C. Hanya beberapa di antara sumber panas bumi yang mempunyai suhu sedang, yaitu 150-225°C. Sistem panas bumi bersuhu tinggi dan sedang ini sangat potensial bila digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Potensi panas bumi di Indonesia mencapai sekitar 29,5GW dan baru dimanfaatkan 1,44 GW atau sekitar 5%.
Investasi yang Terus Meningkat
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat nilai investasi energi baru terbarukan hingga bulan Oktober 2017 tercatat Rp11,74 triliun. Sementara tahun 2016 tercatat realisasi investasi sebesar Rp21,25 triliun. Tahun 2014 realisasi investasi di bidang energi baru tercatat Rp8,63 triliun, lalu meningkat pada 2015 menjadi Rp13,96 triliun. Jadi, secara umum terjadi peningkatan setiap tahunnya, walaupun turun di 2017.
Sementara itu, bisnis juga mengutip data perkembangan pembangkit listrik 35.000 MW. Hingga September 2017, sebanyak 29.746 MW perusahaan telah menandatangani power purchase agreement (PPA). Tercatat sudah 15.126 MW yang sudah masuk dalam tahap konstruksi dan 948 MWtelah beroperasi.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah telah menetapkan target energi bauran jangka pendek sebesar 23 persen pada 2025 dengan kapasitas penyediaan energi sebesar 400 million tonnes of oil equivalent (MTOE). Adapun untuk tahap jangka panjang (long term) sebesar 31% pada tahun 2050 dengan kapasitas produksi sebesar 1.012 MTOE. Angka-angka tersebut ditetapkan untuk mendukung kemandirian energi nasional.
Arah kebijakan energi ke depan berpedoman pada paradigma bahwa sumber daya energi tidak lagi dijadikan sebagai komoditas, tetapi mampu dijadikan sebagai modal pembangunan nasional. Tujuannya untuk : (a) mewujudkan kemandirian pengelolaan energi, (b) menjamin ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri, (c) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya energi secara terpadu dan berkelanjutan, (d) meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, (e) menjamin akses yang adil dan merata terhadap energi, pengembangan kemampuan teknologi, industri energi dan jasa energi dalam negeri, (f) menciptakan lapangan kerja dan terkendalinya dampak perubahan iklim dan terjaganya fungsi lingkungan hidup.
Pertumbuhan EBT tidak hanya terkait angka-angka yang kuantitatif, namun juga nilai manfaat yang sifatnya subtantif. Tercapainya target bauran energi tidak hanya mengejar angka 23 persen di tahun 2025 dan 31 persen di tahun 2050, tapi juga menetapkan indikator mendasar yang mampu menyentuh persoalan subtansial energi kita saat ini yaitu terkait ketersediaan (available), akses (accessibility) dan terjangkau (affordable).
Ketersediaan Energi (availability)
Ketersediaan merupakan ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri. Salah satu upaya Kementerian ESDM adalah dengan terobosan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) untuk menerangi desa-desa yang masih gelap gulita, yang jumlahnya mencapai lebih dari 2.500 desa di seluruh Indonesia. Paket LTSHE akan dibagikan kepada penerima manfaat yang berada di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, daerah terisolir dan pulau terdepan atau jauh dari jangkauan PLN.
Paket program LTSHE mencakup panel surya kapasitas 20 watt peak, 4 lampu LED, baterai, biaya pemasangan, dan layanan purna jual selama tiga tahun. Tahun 2018 Kementerian ESDM juga telah mengusulkan dana sekitar Rp. 1 triliun untuk pelaksanaan pembagian LTSHE di 15 provinsi yang akan melistriki total 255.250 rumah tangga.
Energi yang mudah diakses (accessibility)
Accessibility menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui selama ini memahami bahwa tidak semua masyarakat Indonesia mendapatkan akses listrik. Karenanya melakukan berbagai terobosan dalam program EBT dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 38 Tahun 2016 tentang percepatan elektrifikasi di perdesaan belum berkembang, Terpencil, perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk melalui pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik untuk skala kecil.
Berdasarkan data Kementerian ESDM ada sekitar 12.000 desa yang belum dapat listrik dengan baik, 2519 desa di antaranya bahkan belum berlistrik alias gelap gulita di malam hari. Melihat realitas tersebut Kementerian ESDM selain mengeluarkan Permen No 38 Tahun 2016 juga melakukan serangkaian peningkatan melistriki desa dan mengakomodasi kearifan lokal, diantaranya dengan penambahan pembangkit EBT sebesar 1.698 MW dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), 1.812 MW dari PLT Bioenergi, dan 259 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan PLTMH.
Salah satu contoh lainnya meningkatkan akses adalah dengan melakukan Pembangunan PLTS Terpusat di Desa Ampas, Kecamatan Waris, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua sebagai salah satu wujud nyata penggalan pidato Presiden RI pada Sidang Tahunan MPR-RI tanggal 16 Agustus 2017 di atas. Setelah puluhan tahun masyarakat Ampas hidup dalam kegelapan karena tidak ada listrik yang menjangkau desa, mereka dapat menikmati malam di rumah mereka tanpa cahaya pelita sejak tanggal 29 Oktober 2016. Sebelumnya, masyarakat Ampas menggunakan pelita sebagai alat penerang pada malam hari. Pelita merupakan minyak tanah yang dibakar melalui sumbu dan seringkali membuat mata merah dan pedih.
Sesuai usulan Pemerintah Provinsi, Kementerian ESDM melaksanakan pembangunan infrastruktur 1 unit PLTS Terpusat dengan kapasitas 20 kWp dengan menggunakan APBN Tahun Anggaran 2016. Pembangunan dimulai sejak akhir Februari 2016 dan selesai pada bulan Oktober 2016. Infrastruktur tersebut telah diserahterimakan oleh Direktorat Jenderal EBTKE kepada Pemprov Papua pada tanggal 24 Februari 2017 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal EBTKE bersama dengan Bupati Keerom pada tanggal 10 Maret 2017. Hingga saat ini PLTS Terpusat Ampas beroperasi dengan baik dan mampu melistriksi 90 KK yang pengoperasian dan perawatannya dibantu oleh 3 operator yang dibayar dari iuran masyarakat. Kabupaten Keerom berada pada kawasan Provinsi Papua di ujung timur Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea. Kabupaten Keerom terdiri dari 11 distrik dan 91 kampung dengan jumlah penduduk sebanyak 58.439 jiwa.
Gambar : Potensi Geothermal Indonesia |
Tapi, dari potensi yang luar biasa ini, yang baru dimanfaatkan sebanyak 8,66 GW atau sekitar 1% saja. "Pemanfaatan energi terbarukan baru 1% dari potensi 801,2 GW atau sekitar 8,66 GW artinya hampir utuh karena nggak dipakai," ujar Direktur Jenderal EBTKE, Rida Mulyana, dalam Sarasehan Media, di Hotel Neo Plus Green Savana, Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/5/2016).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan energi laut yang tercatat mencapai 18 GW. Dari potensi ini baru dimanfaatkan sebesar 0,3 MW atau sekitar 0,002 persen. Dari segi negara beriklim tropis dan dilewati garis katulistiwa potensi energi terbarukan seperti air, angin, surya, dan bioenergi juga sangat besar. Tenaga air saja tercatat 75 GW,sementara yang termanfaatkan baru 5,02 GW atau sekitar 7 persen. Tenaga angin sebesar 113,5 GW dan baru dimanfaatkan sebesar 6,5 MW atau 0,01 persen.
Tenaga Surya yang digadang-gadang dunia sebagai energi terbarukan terbaik di Indonesia tercatat potensinya 532,5 GWp, dan baru dimanfaatkan 0,08 GWp. Berikutnya bioenergi, sebagai negara yang subur potensi Indonesia tercatat 32,6 GW dan baru dimanfaatkan 1,74 GW atau sekitar 5,3 persen.
Lokasi geografis Indonesia yang unik, yaitu berada pada “Ring of Fire” menjadikan negara ini memiliki potensi panas bumi yang terbesar di dunia yaitu 40% dari potensi dunia. Indonesia terletak di lempengan tektonik bumi yang sangat aktif, yaitu di antara lempeng tektonik Indo-Australia, Pasifik, Filipina, dan Eurasia. Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistem hidrotermal yang mempunyai suhu tinggi, yaitu lebih dari 225°C. Hanya beberapa di antara sumber panas bumi yang mempunyai suhu sedang, yaitu 150-225°C. Sistem panas bumi bersuhu tinggi dan sedang ini sangat potensial bila digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Potensi panas bumi di Indonesia mencapai sekitar 29,5GW dan baru dimanfaatkan 1,44 GW atau sekitar 5%.
Investasi yang Terus Meningkat
Adapun hingga Oktober 2017, kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru terbarukan mencapai 39 Giga Watt. Pembangkit itu terdiri dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terpasang mencapai 1.808,5 MW, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), mencapai 259,8 MW. Sedangkan, pembangkit tenaga listrik bioenergi mencapai 1.812 MW.
Sementara itu, bisnis juga mengutip data perkembangan pembangkit listrik 35.000 MW. Hingga September 2017, sebanyak 29.746 MW perusahaan telah menandatangani power purchase agreement (PPA). Tercatat sudah 15.126 MW yang sudah masuk dalam tahap konstruksi dan 948 MWtelah beroperasi.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah telah menetapkan target energi bauran jangka pendek sebesar 23 persen pada 2025 dengan kapasitas penyediaan energi sebesar 400 million tonnes of oil equivalent (MTOE). Adapun untuk tahap jangka panjang (long term) sebesar 31% pada tahun 2050 dengan kapasitas produksi sebesar 1.012 MTOE. Angka-angka tersebut ditetapkan untuk mendukung kemandirian energi nasional.
Arah kebijakan energi ke depan berpedoman pada paradigma bahwa sumber daya energi tidak lagi dijadikan sebagai komoditas, tetapi mampu dijadikan sebagai modal pembangunan nasional. Tujuannya untuk : (a) mewujudkan kemandirian pengelolaan energi, (b) menjamin ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri, (c) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya energi secara terpadu dan berkelanjutan, (d) meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, (e) menjamin akses yang adil dan merata terhadap energi, pengembangan kemampuan teknologi, industri energi dan jasa energi dalam negeri, (f) menciptakan lapangan kerja dan terkendalinya dampak perubahan iklim dan terjaganya fungsi lingkungan hidup.
Pertumbuhan EBT tidak hanya terkait angka-angka yang kuantitatif, namun juga nilai manfaat yang sifatnya subtantif. Tercapainya target bauran energi tidak hanya mengejar angka 23 persen di tahun 2025 dan 31 persen di tahun 2050, tapi juga menetapkan indikator mendasar yang mampu menyentuh persoalan subtansial energi kita saat ini yaitu terkait ketersediaan (available), akses (accessibility) dan terjangkau (affordable).
Ketersediaan Energi (availability)
Ketersediaan merupakan ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri. Salah satu upaya Kementerian ESDM adalah dengan terobosan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) untuk menerangi desa-desa yang masih gelap gulita, yang jumlahnya mencapai lebih dari 2.500 desa di seluruh Indonesia. Paket LTSHE akan dibagikan kepada penerima manfaat yang berada di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, daerah terisolir dan pulau terdepan atau jauh dari jangkauan PLN.
Paket program LTSHE mencakup panel surya kapasitas 20 watt peak, 4 lampu LED, baterai, biaya pemasangan, dan layanan purna jual selama tiga tahun. Tahun 2018 Kementerian ESDM juga telah mengusulkan dana sekitar Rp. 1 triliun untuk pelaksanaan pembagian LTSHE di 15 provinsi yang akan melistriki total 255.250 rumah tangga.
Energi yang mudah diakses (accessibility)
Accessibility menunjukkan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui selama ini memahami bahwa tidak semua masyarakat Indonesia mendapatkan akses listrik. Karenanya melakukan berbagai terobosan dalam program EBT dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 38 Tahun 2016 tentang percepatan elektrifikasi di perdesaan belum berkembang, Terpencil, perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk melalui pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik untuk skala kecil.
Berdasarkan data Kementerian ESDM ada sekitar 12.000 desa yang belum dapat listrik dengan baik, 2519 desa di antaranya bahkan belum berlistrik alias gelap gulita di malam hari. Melihat realitas tersebut Kementerian ESDM selain mengeluarkan Permen No 38 Tahun 2016 juga melakukan serangkaian peningkatan melistriki desa dan mengakomodasi kearifan lokal, diantaranya dengan penambahan pembangkit EBT sebesar 1.698 MW dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), 1.812 MW dari PLT Bioenergi, dan 259 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan PLTMH.
Salah satu contoh lainnya meningkatkan akses adalah dengan melakukan Pembangunan PLTS Terpusat di Desa Ampas, Kecamatan Waris, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua sebagai salah satu wujud nyata penggalan pidato Presiden RI pada Sidang Tahunan MPR-RI tanggal 16 Agustus 2017 di atas. Setelah puluhan tahun masyarakat Ampas hidup dalam kegelapan karena tidak ada listrik yang menjangkau desa, mereka dapat menikmati malam di rumah mereka tanpa cahaya pelita sejak tanggal 29 Oktober 2016. Sebelumnya, masyarakat Ampas menggunakan pelita sebagai alat penerang pada malam hari. Pelita merupakan minyak tanah yang dibakar melalui sumbu dan seringkali membuat mata merah dan pedih.
Sesuai usulan Pemerintah Provinsi, Kementerian ESDM melaksanakan pembangunan infrastruktur 1 unit PLTS Terpusat dengan kapasitas 20 kWp dengan menggunakan APBN Tahun Anggaran 2016. Pembangunan dimulai sejak akhir Februari 2016 dan selesai pada bulan Oktober 2016. Infrastruktur tersebut telah diserahterimakan oleh Direktorat Jenderal EBTKE kepada Pemprov Papua pada tanggal 24 Februari 2017 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal EBTKE bersama dengan Bupati Keerom pada tanggal 10 Maret 2017. Hingga saat ini PLTS Terpusat Ampas beroperasi dengan baik dan mampu melistriksi 90 KK yang pengoperasian dan perawatannya dibantu oleh 3 operator yang dibayar dari iuran masyarakat. Kabupaten Keerom berada pada kawasan Provinsi Papua di ujung timur Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea. Kabupaten Keerom terdiri dari 11 distrik dan 91 kampung dengan jumlah penduduk sebanyak 58.439 jiwa.
Energi yang terjangkau (affordable),Affordability merupakan biaya investasi di bidang energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga biaya yang dikenakan kepada konsumen. Beberapa program telah dilakukan oleh Kementerian ESDM selama ini, diantaranya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 dalam rangka mempercepat pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik dan sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan BPP tenaga listrik sehingga lebih lanjut dapat menurunkan Tarif Tenaga Listrik yang berdampak pada tarif listrik yang terjangkau oleh masyarakat maupun tarif listrik yang kompetitif bagi dunia industri.
Selain itu, Kementerian ESDM dalam rangka mendorong penyederhanaan perizinan dan non perizinan di bidang EBTKE dengan memangkas jumlah perizinan dan non perizinan yang semula 31 + 2 menjadi 12. Diantaranya terdapat 7 perizinan, 4 diserahkan ke BKPM yang umum dan 3 yang bersifat teknis di Direktorat Jenderal EBTKE. Sementara untuk non perizinan dari 25 non perizinan menjadi 10 non perizinan, dengan 1 perizinan diserahkan di BKPM dan 9 yang sangat teknis masih di Direktorat Jenderal EBTKE.
Selain itu, Kementerian ESDM dalam rangka mendorong penyederhanaan perizinan dan non perizinan di bidang EBTKE dengan memangkas jumlah perizinan dan non perizinan yang semula 31 + 2 menjadi 12. Diantaranya terdapat 7 perizinan, 4 diserahkan ke BKPM yang umum dan 3 yang bersifat teknis di Direktorat Jenderal EBTKE. Sementara untuk non perizinan dari 25 non perizinan menjadi 10 non perizinan, dengan 1 perizinan diserahkan di BKPM dan 9 yang sangat teknis masih di Direktorat Jenderal EBTKE.
Oleh : Ahmad Senoadi
Dari berbagai sumber.
0 comments