MOBIL LISTRIK BISA PICU KRISIS MINYAK DUNIA


Mobil listrik bisa picu krisis minyak dunia, ini adalah pendapat yang mengejutkan. Bagaimana tidak, mobil listrik yang merupakan salah satu simbol utama energi terbarukan dan selalu diiringi image bahwa ini adalah satu alat yang bisa membantu manusia melakukan penghematan energi. Pernyataan ini muncul dari salah satu lembaga terpercaya, Bloomberg New Energi Finance.

Teknologi dengan segala kebaikannya akan menggiring manusia untuk berfikir bahwa membeli barang berteknologi lama (sudah terkenal) bukan lagi pilihan yang rasional. Kita bisa mengenang waktu awal munculnya smartphone android melawan Blackberry dan Nokia yang saat itu sangat digandrungi. Waktu itu, siapa sangka Nokia dan BB akan mengalami kejatuhan setelah produsen-produsen (lokal dan China), yang notabene tidak berkelas, menjajakan berbagai inovasi dari Android. Memprediksi perubahan ini sangat sulit, tapi ketika itu terjadi maka seluruh dunia berubah.

Bloomberg New Energy Finance (BNEF) mencoba untuk memprediksi hal ini melalui kajiannya. BNEF menilai fenomena diatas juga akan terjadi pada mobil listrik versus mobil bensin (premium atau solar), Asumsinya, harga baterai tahun lalu turun 35%. Tren penurunan ini akan menjadikan mobil listrik menjadi semakin kompetitif dibandingkan mobil bensin, dalam hal harga beli. Murahnya harga baterai akan mendorong industri untuk memproduksi mobil listrik secara massal, dan ini akan menurunkan lagi harganya. Diprediksi, harga mobil listrik jarak jauh atau hibryd listrik akan sama dengan mobil bensin pada 2040, yaitu 22.000 dolar Amerika per unit atau dalam kurs Rp13.000 sebesar Rp286 juta.

Saat ini masyarakat belum menyadarinya. Terbukti, penjualan mobil listrik global hanya 1 persen dibandingkan mobil bensin yang jadi kompetitornya. Saat ini mobil bensin masih mendominasi pasar otomotif di seluruh negara di dunia. Bahkan, Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) memprediksi penjualan mobil listrik tahun 2040 hanya 1 persen saja. Ini diperkuat dengan pernyataan CEO Conoco Phillips Ryan Lance yang mengatakan bahwa mobil listrik hanya memberikan ancaman besar pada 50 tahun mendatang. 


Tapi kita semua tahu dari berita otomotif dunia, bahwa dalam beberapa tahun mendatang Tesla, Chevy, dan Nissan berencana memproduksi mobil listrik jarak jauh dengan harga 30.000 dolar atau sekitar Rp390 juta. Ini adalah harga mobil untuk kalangan menengah. Beberapa produsen otomotif telah mengivestasikan dana triliunan untuk membuat puluhan model mobil listrik. Diprediksi, pada 2020 beberapa model ini akan diproduksi dengan harga yang lebih murah dan performa yang lebih baik dibandingkan mobil bensin. Tujuannya adalah meniru sukses Tesla yang berhasil membukukan penjualan lebih besar dibandingkan mobil bensin di kelasnya.

Pertanyaannya, seberapa besar hal ini mempengaruhi permintaan minyak dunia? Apakah penurunan permintaan BBM mobil ini setara dengan penurunan permintaan minyak yang dapat memicu krisis minyak di masa mendatang? Untuk menjawab hal ini, pertama-tama kita akan melihat seberapa besar pertumbuhan penjualan mobil listrik.

Tahun lalu, penjualan mobil listrik dunia tahun 2015 naik 60 persen. Penjualan panel surya dunia juga memiliki grafik yang hampir sama, naik 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Lampu LED bahkan naik 140 persen. Berdasarkan perhitungan Blommberg, pertumbuhan 60 persen ini sama dengan pengurangan 2 juta barel BBM pada tahun 2023. Ini adalah jumlah yang sama dengan jumlah pemicu krisis minyak di Timur Tengah di tahun 2014

Pertumbuhan 60 persen per tahun dalam jangka panjang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berlebihan. Namun, Bloomberg percaya pengurangan permintaan BBM sebesar 2 juta barel terjadi pada 2028. Banyak yang melihat prediksi ini sangat kejam. Namun, kita tetap harus mengubah cara pandang kita secara lebih bijaksana dan mengharapkan industri minyak dunia mulai serius atas ancaman ini dan mencari jalan keluarnya.

"Jika Anda melihat laporan yang dikeluarkan OPEC dan Exxon, maka Anda percaya penjualan (mobil listrik) hanya 2 persen," kata Analis BNEF. "Apapaun itu, pada akhir 2040 akan menjadi 25 atau 50 persen (porsi mobil listrik), akan ada peralihan massal," imbuhnya.

Analisis BNEF ini fokus pada total biaya yang dikeluarkan oleh pemilik mobil listrik, termasuk pemeliharaan, biaya BBM, dan biaya untuk baterai. Saat ini, kontribusi biaya baterai masih 30 persen dari seluruh biaya mobil listrik. Ada 4 syarat agar mobil listrik bisa diadopsi secara massal, yaitu :

  1. Insentif pemerintah atas mobil listrik.
  2. Produsen mobil mau mengambil marjin untung yang lebih rendah.
  3. Konsumen mau mengeluarkan biaya lebih untuk memiliki mobil listrik.
  4. Biaya baterai harus turun terus.

Beberapa negara maju telah mengadopsi tiga syarat diatas. Ini ditunjang oleh penurunan harga baterai yang akhir-akhir ini terus terjadi. Pertanyaan yang mencuat lainnya adalah, darimana listrik yang akan menggerakkan mobil listrik tersebut. Sebab, pada tahun 2040 total kebutuhan listrik mobil listrik dunia adalah 1.900 terawatt jam. Kebutuhan ini sama dengan 10 persen produksi listrik dunia saat ini.

Kabar bagusnya, produksi listrik sudah makin bersih. Sejak 2013, penambahan produksi listrik dunia lebih banyak didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Penambahan dari PLTS dan PLTB telah melampoi total dari penambahan pembangkit dari minyak, gas, dan batubara. Apalagi, mobil listrik bisa mengurangi biaya baterai penyimpanan dari PLTS dan PLTB karena bisa langsung digunakan oleh mobil. Sebab, umumnya mobil dikendari siang hari saat produksi PLTS dan PLTP maksimum. Kedepan, hubungan PLTS, PLTB, dan mobil listrik adalah simbiosis mutualisme.

Bagaimana dengan pertanyaan soal keterbatasan sumber daya lithium dan bahan baku lain untuk memproduksi baterai. BNEF memprediksi ada perkembangan teknologi yang akan menghasilkan baterai yang lebih ringan, lebih kecil, dan lebih murah, dengan bahan baku yang benar-benar baru.

Meskipun sudah dipaparkan secara lengkap, tapi industri minyak dunia masih skeptis atas prediksi ini. Sebab, masih banyak pemilik mobil baru di negara berkembang (dengan penduduk yang sangat banyak) yang membeli mobil barunya dengan teknologi mobil bensin, seperti di India dan Indonesia. Peningkatan permintaan dari negara berkembang ini akan melampoi dampak negatif penurunan konsumsi BBM dari ledakan penjualan mobil listrik. Ini ditunjang dengan penurunan harga minyak dunia saat ini yang sempat mencapai 20 dolar per barel dan diprediksi akan terjadi dalam waktu lama. Ini menjadikan mobil bensin tetap jauh lebih murah.

Perlu mendapat perhatian dan dicatat, bahwa penurunan harga minyak hanya sebagai permulaan. Setiap tahun jumlah mobil listrik yang dijual akan semakin banyak yang akan menurunkan permintaan minyak. Orang akan meninggalkan minyak. Dan siapa sangka bahwa Nokia dan BBM akan terpuruk setelah Android muncul, apalagi diproduksi dari China dan Indonesia yang notabene tidak berkelas.

Oleh : Ahmad Senoadi
Dari berbagai sumber.





Load disqus comments

0 comments