Enegi nuklir merupakan energi yang paling padat dari semua energi yang dikenal dan dikembangkan oleh manusia. Reaksi nuklir menghasilkan energi yang sangat dasyat, sehingga manusia telah menggunakan untuk bom dengan daya hancur yang luar biasa. Untuk bisa memanfaatkan energ dari rekasi NUKLIR, dibutuhkan teknologi yang tinggi. Teknologi yang dibutuhkan adalah pengendalian rekasi nuklir agar menghasilkan energi yang dibutuhkan (tidak terlalu besar seperti bom), menahan radiasi nuklir yang sangat berbahaya, dan mengubah panas menjadi listrik.
Pemanfaatan panas inilah yang dilakukan oleh banyak negara melalui fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga NUKLIR (PLTN). Besarnya energi nuklir ini bisa dilihat jika dibandingkan dengan energi lain, seperti batubara. Jika 1 kg batubara mampu menyalakan lampu pijar 100 Watt selama 4 hari, maka 1 kg uranium dapat menyalakan lampu tersebut sedikitnya selama 180 tahun. Bahkan, jika uranium tersebut diproses menggunakan reaktor cepat mampu menyalakan lampu hingga 24.000 tahun. Ini adalah suatu perbandingan yang sangat besar.
Pemanfaatan uranium juga memunculkan hasil lain. Tidak seperti bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti gas karbon dioksida (CO2), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NOX), dan debu. Gas-gas inilah yang mengakibatkan pemanasan global. Reaksi fisi uranium menghasilkan radiasi elektromagnetik sinar alfa, beta, dan gama sebagai hasil lainnya. Radiasi ini sangat berbahaya bagi manusia dan hewan.
Proses pemanfaatan uranium juga menghasilkan limbah NUKLIR yang memiliki sifat radioaktif yang sangat tinggi sehingga harus ditangani dengan tingkat keamanan yang tinggi. Tempat pembuangan lestari harus dibangun karena proses peluruhannya mencapai ribuan tahun. Tempat pembungana harus mempu menyerap radiasi, sehingga limbah tidak mencemari tanah dan air tanah. Limbah nuklir uranium harus dijaga ketat minimal selama 10.000 tahun (ada yang mengatakan 240.000 hingga 1 juta tahun), sementara thorium selama 300 tahun.
Selain uranium, saat ini dunia sedang mengembangkan NUKLIR thorium. Namun, reaksi thorium menghasilkan radiasi 10 kali lebih besar dibandingkan reaksi uranium. India telah mampu menghasilkan listrik dari Thorium, sementara China masih berkutat dengan riset pengendalian radiasi ke level yang aman sehingga mampu mengembangkan PLTN Thorium secara besar-besaran.
Dalam pemanfaatan energi nuklir, ilmuwan membagi reaksi NUKLIR menjadi dua, yaitu reaksi fisi dan reaksi fusi. Reaksi fisi atau pembelahan inti adalah reaksi pembelahan init atom akibat tubrukan inti atom dengan inti atom lainnya dan menghasilkan atom baru yang bermassa lebih kecil dan energi. Sementara, reaksi fusi atau penggabungan beberapa inti atom adalah reaksi peleburan dua atau lebih inti atom menjadi atom baru dan menghasilkan energi. Berbeda dengan reaksi fisi yang menghasilkan radiasi yang berbahaya bagi manusia, reaksi fusi dikenal sebagai reaksi yang bersih karena tidak menghasilkan radiasi.
Dalam sejarah, reaksi fisi dan fusi telah banyak ditemukan. Contoh reaksi fisi adalah senjata nuklir dan PLTN. Unsur yang sering digunakan dalam reaksi fisi adalah uranium dan plutonium (terutama Uranium-235 dan Plutonium-239). Bahan baku uranium didapat dari tambang uranium. Di alam, banyak terdapat uranium dengan kadar prosentase yang berbeda-beda. Lahan uranium yang ekonomis ditambang adalah yang memiliki kadar prosentase 0,7%. Sebelum menjadi bahan bakar PLTN atau bom NUKLIR, uranium harus diperkaya. Untuk bahan bakar PLTN, dibutuhkan uranium yang telah diperkaya menjadi 3-5%.
Uranium yang diperoleh dari tambang berbentuk U-238 dengan kandungan >99,2% atau setara dengan 0,72% U-235. Proses pengayaan dilakukan sesuai tujuan. Pengayaan untuk bahan bahar PLTN dilakukan dengan target menjadikan U-235 berkadar 0,72% menjadi U-235 berkadar 3-5%. Sementara untuk senjata nuklir U235 berkadar 0,72% diproses menjadi U-235 berkadar 90%.
Industri pengayaan uranium menyangkut keamanan dunia (pengendalian bom nuklir), sehingga hanya beberapa negara yang diperbolehkan atau mendapat izin. Saat ini, industri pengayaan uranium terdapat di Argentina, Brasil, China, Prancis, Jerman, India, Iran, Jepang, Belanda, Korea Utara, Pakistan, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Jika ada negara lain yang ingin membangun PLTN, mereka harus membeli bahan bakar nuklir dari negara-negara diatas, khususnya setelah mendapat restu dari Amerika Serikat dan Rusia.
Untuk rekasi fusi, kita dapat dengan mudah menemukannya di alam. Reaksi fusi dapat kita lihat pada reaksi hampir semua inti bintang. Contoh lainnya, bom hidrogen memanfaatkan prinsip reaksi fusi yang tidak terkendali. Bahan baku reaksi fusi adalah lithium-6, deuterium, tritium, dan hidrogen. Panas sinar matahari merupakan salah satu reaksi fusi yang sering kita rasakan.
Reaktor Nuklir (PLTN)
Sebagian besar PLTN komersial yang ada didunia menggunakan reaksi fisi dengan bahan bakar Uranium dan menghasilkan Plutonium. Ada beberapa negara yang memiliki PLTN fisi berbahan bakar Thorium, diantaranya India. China sedang melakukan riset untuk pengembangan besar-besaran PLTN berbahan bakar Thorium. Sementara, reaktor nuklir fusi berbahan bakar Deutrium masih dalam tahap eksperimental. International Thermonuclear Experimental Reaktor (ITER) adalah lembaga yang sedang melakukan eksperimen reaktor fusi berbahan bakar Deutrium. Ada 28 Negara yang masuk anggota ITER, diantaranya : Austia, Belgia, Bulgaria, China, Kroasia, Siprus, Cekoslovakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hunggaria, India,Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Lituania, Lusemburk, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Inggirs, dan Amerika Serikat.
Secara prinsip, PLTN menggunakan reaktor reaksi fisi terkendali untuk menghasilkan panas yang diinginkan. Panas dari reaktor nuklir ini kemudian dipakai untuk menggerakkan turbin uap untuk menghasilkan listrik. Turbin uap pada PLTN memiliki sistem kerja yang sama dengan pembangkit termal konvensional seperti yang kita jumpai pada pembangkit termal lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
A. Fisi Uranium
Reaktor fisi uranium PLTN adalah pembangkit panas yang paling banyak digunakan di dunia. Secara umum, pembangunan reaktor dibagi dalam 2 kelompok, yaitu berdasarkan tujuan dan tipe.
1. Berdasarkan Tujuan
Reaktor daya (PLTN, kapal selam, dll)
Reaktur penelitian (riset, produksi isotop, kedokteran, teknik, industri dan lain-lain)
Reaktor peranakan (produksi bahan bakar nuklir)
2 Berdasarkan Tipe
2.1 Reaktor Air Mendidih (Boilling Water Reactor/BWR)
Reaktor jenis ini memanfaatkan air (H20) sebagai pendingin dan moderator. Panas yang dihasilkan oleh reaksi fisi diserap oleh air hingga mendidih dan berubah menjadi uap. Uap inilah yang akan dimanfaatkan menggerakkan turbin hingga menghasilkan listrik. Uap dari turbin didinginkan sehingga berubah menjadi air dan dipompa kembali ke dalam reaktor. Reaktor BWR hanya memiliki satu sistem sirkulasi pendingin.
2.2 Reaktor Air Bertekanan (Pressurized Water Reactor/PWR)
Reaktor PWR menggunakan air sebagai pendingin. Ada dua sistem sirkulasi pendingin, yaitu primer dan sekunder. Sistem pendingin primer berisi air yang berhubungan langsung dengan sumber panas (reaktor). Sistem pendingin primer akan berhubungan dengan sistem pendingin sekunder. Panas dari sistem pendingin primer akan dimanfaatkan oleh sistem pendingin sekunder untuk menghasilkan uap dan menggerakkan generator. Generator inilah yang akan menghasilkan listrik.
2.3 Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurized Heavy-Water Reactor/PHWR)
Prinsip kerjanya mirip dengan jenis PWR, namun pendinginnya menggunakan air berat (D2O).
2.4 Reaktor Berpendingin Gas (Gas Cooled Reactor/GCR)
Reaktor GCR menggunakan gas CO2 yang disirkulasikan ke dalam bahan bakar reaktor sebgai pendingin siklus primer. Gas panas yang keluar dari reaktor kemudian masuk dalam steam generator untuk menghasilkan uap pada siklus sekunder yang menggunakan air sekaligus mendinginkan gas CO2 tersebut sebelum kembali masuk ke dalam reaktor. Pada time ini, grafiit digunakan sebagai moderator.
2.5 Reaktor Grafit Berpendingin Air (Light Water Graphite Reactor/LWGR)
Reaktor ini mempergunakan grafit sebagai moderator dan air sebagai pendingin. Air pendingin dibiarkan mendidih di dalam reaktor dan uapnya kemudian dipisahkan dari air dalam wadah uap. Uap kemudian dipergunakan untuk menggerakkan turbin.
2.6 Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor/FBR)
Reaktor ini mempergunakan plutonium (Pu-239) sebagai bahan bakar. Plutonium ditempatkan di bagian tengah inti reaktor, kemudian disebelah luarnya dikelilingi oleh U-238. Uranium 238 menyerap neutron yang berasal dari reaksi fisi bagian tengah reaktor, sehingga berubah menjadi Pu-239. Produksi Pu-239 inilah yang dikenal sebagai pembiakan bahan bakar. Dengan tanpa adanya moderator di dalam reaktor untuk menurunkan energi neutron membuat reaktor ini disebut pembiak cepat. Sebagai pendingin dipakai logam cair sodium (Na) yang tidak bersifat memoderasi dan tahan terhadap temperatur ekstrim di dalam reaktor.
2.7 Reaktor Pebble Bed (Pebble Bed Reactor/PBR)
Reaktor ini menggunakan bahan bakar keramik uranium, plutonium, dan thorium berbentuk bola (pebble). Bola-bola diletakkan ke dalam silinder reaktor yang bagian bawahnya berbentuk seperti corong sebagai tempat keluarnya bahan bakar yang sudah habis terpakai. Gas helium yang dialirkan di sela-sela tumpukan bola-bola keramik berfungsi sebagai pendingin yang menyerap panas hasil reaksi fisi untuk kemudian dipindahkan ke air pendingin melalui steam generator. Grafit pada struktur bahan bakar atau bola-bola grafit yang dicampur dengan bola-bola bahan bakar berfungsi sebagai moderator. Aliran tipikal dari pebble ini adalah satu pebble setiap menit.
B. Fisi Thorium
Seperti Uranium dan Plutonium, Thorium bisa dijadikan bahan bakar nuklir. Isotop yang didapat di dalam Thorium dapat digunakan untuk proses fisi. Teknologi PLTN fisi berbahan bakar Thorium disebut-sebut cocok bagi Indonesia. Para penggiat PLTN fisi menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi Thorium yang sangat besar di Bangka Belitung,Kalimantan, Riau, dan Halmahera. Potensinya disebut-sebut bisa digunakan hingga 100 tahun. Thorium memiliki energi 200 kali lebih besar dibandingkan Uranium, menghasilkan limbah radiasi yang lebih sedikit, lebih aman (bisa menyelamatkan diri sendiri), dan tidak bisa digunakan sebagai wahana memproduksi senjata nuklir.
Proses fisi yang terjadi pada Thorium tidak menghasilkan neutron yang cukup untuk membelah inti atom secara mandiri. Neutron harus selalu disediakan secara terus menerus dari luar untuk ditembakkan dan membelah inti atom. Artinya, reaktor berbahan bakar Thorium tidak menghasilkan reaksi berantai. Bila sumber neutron disingkirkan, reaksi fisi dalam reaktor akan mati. Bila reaktor mengalami kelebihan panas, sumbat kecil di bawah bejana pengungkung reaktor akan meleleh dan larutan garam thorium mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki bawah tanah yang telah disediakan. Reaktor tidak memiliki potensi menghasilkan gas hidrogen yang dapat meledak. Inilah mengapa PLTN berbahan bakar Thorium disebut lebih aman dibanding Uranium dan Plutonium.
Ada dua negara yang saat ini yang mengembangkan potensi Thorium secara agresif, yaitu India dan China. Kedua negara ini memiliki potensi Thorium yang sangat besar, India 846.000 ton (terbesar di dunia) dan China 100.00 ton (urutan 12). Pemerintah India mengumumkan akan menggunakan potensi Thorium untuk mendukung Uranium dalam peningkatan peran PLTN. India menggunakan teknologi Reaktor Uranium dengan beberapa modifikasi untuk PLTN berbahan bakar Thorium.
Gabungan PLTN berbahan bakar Thorium dan Uranium diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih besar di masa mendatang. India menargetkan akan menaikkan kapasitas PLTN terpasang saat ini sebesar 7.000 MW menjadi 30.000 MW pada 2020 dan 50.000 MW pada 2030. Hal serupa dilakukan oleh China. Saat ini China mempunyai 20 PLTN dan membangun 28 PLTN. Target yang ditetapkan Pemerintah China adalah memiliki PLTN berkapasitas 60.000 MW pada 2020 dan 150.000 MW di 2030.
Permasalahannya, teknologi PLTN berbahan bakar Thorium belum tersedia secara komersial atau masih dalam skala laboratrium. Ada beberapa negara yang telah memiliki PLTN Thorium, diantaranya India dan Kanada, tapi dalam skala yang kecil dan belum teruji secara komersial. Potensi Thorium sebenarnya sudah diteliti sejak lama. Amerika Serikat telah mengadakan percobaan reaktor garam cair (MSR) kapasitas 8 MW di Oak Ridge National Laboratory (ORNL) tahun 1960 sebagai bagian dari program pengembangan teknologi reaktor. Reaktor tesebut merupakan reaktor garam cair yang pertama di dunia dan berdasarkan siklus thorium. Namun, sampai saat ini Amerika Serikat tidak memiliki PLTN berbahan bakar Thorium dalam skala komersial. Amerika Serikat disebut-sebut tidak melanjutkan risetnya karena belum bisa menyelesaikan kendala teknis untuk membangun PLTN Thorium skala komersial.
Ketiadaan teknologi skala komersial inilah yang membuat China mengucurkan dana U$350 juta untuk riset PLTN berbahan bakar Thorium di Thorium Molten Salt Reactor Center. Dana sebagian besar digunakan untuk menambah SDM ahli nuklir di bidang Thorium. Pakar nuklir China menilai PLTN Thorium memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Proyek PLTN Thorium China disebut sebagai keindahan ilmu pengetahuan tapi mimpi buruk bagi para ahli nuklir.[ Professor Gu Zhongmao, China Institute of Atomic Energy.] Tantangan masa depan PLTN Thorium adalah pancaran radiasi gamma sebagai hasil sampingan reaksi fisi di reaktor mencapai 10 kali lebih besar dibandingkan Uranium. Akibatnya, desain PLTN harus memiliki tameng radiasi yang lebih tebal. Faktor laju korosi yang tinggi pada PLTN juga masih menjadi tantangan yang hingga kini masih menjadi pemikiran para ahli nuklir dunia.
C Fusi Deutrium
Energi nuklir fusi telah menjadi impian dunia sejak lama. Tahun 1985, ITER (International Thermonuclear Experimental Reactor) dibentuk dan kini beranggotakan Uni Eropa, Amerika Serikat, Rusia, China, India, Jepang, dan Korea Selatan. ITER menjanjikan tahun 2050 PLTN fusi berteknologi tokamak sudah bisa digunakan secara komersial. Saat ini, ITER sedang membangung proyek eksperimental PLTN fusi berkapasitas 2.000-4.000 MW di Prancis. Proyek eksperimental ini mulai dibangun pada 2010 dan ditargetkan selesai 2019. Operasional rekasi fusi deuterium dan tritium ditargetkan 2027 sementara produksi listrik untuk sistem listrik di Prancis diharapkan pada 2040.
Bahan baku utama PLTN fusi adalah deuterium dan tritium yang sangat berlimpah di bumi, termasuk Indonesia. Deuterium dapat diekstraksi dari air laut melalui metode elektrolisis dimana setiap satu meter kubik air mengandung 30 gram deuterium. Jika seluruh listrik di muka bumi ini dibangkitkan oleh reaktor fusi maka cadangan deuterium akan mencukupi kebutuhan lebih dari sejuta tahun. Tritium harus diproduksi (dibiakkan) dalam reaktor dengan lithium. Lithium adalah metal yang paling ringan yang cukup banyak ditemukan pada kulit bumi serta dalam konsentrasi rendah di lautan. Cadangan lithium yang telah diketahui hingga saat ini dapat mencukupi kebutuhan selama lebih dari 1000 tahun.
Reaktor fusi yang diteliti oleh ITER menggunakan teknologi ekspansi tokamak yang menjalankan proses tokamak dan reaksi fusi. Tokamak adalah teknologi untuk menghasilkan kondisi ideal bagi reaksi fusi. Tokamak ditemukan oleh Igor Yevgenyevich Tamm dan Andrei Sakharov sekitar tahun 1950 dan merupakan teknologi reaksi fusi yang paling populer saat ini. Reaksi fusi membutuhkan temperatur, tekanan, dan kerapatan bahan bakar ekstrim tinggi sehingga bisa mengatasi gaya tolak-menolak coulomb akibat muatan proton yang menjadi luar biasa besar dalam reaksi nuklir. Reaksi fusi di matahari merupakan acuan dari teknologi fusi.
Di dalam inti matahari, temperatur antara 15-20 juta derajat Celsius, tekanan gravitasi sekitar seperempat triliun atmosfir, serta kerapatan yang mencapai delapan kali kerapatan emas. Kondisi ini telah menjamin berlangsungnya fusi inti-inti hidrogen menjadi inti helium secara kontinu selama milyaran tahun. Tentu saja kondisi tersebut sulit dicapai di atas permukaan bumi, ITER menggunakan teknologi tokamak untuk menciptakan syarat tersebut.
Tokamak adalah reaktor berongga toroidal (berbentuk donat) yang diselimuti oleh gulungan-gulungan kawat bermuatan magnet (magnetic confinement). Cara kerja tokamak mirip seperti alat pemanas dimana medan elektrik yang dihasilkan oleh gulungan kawat akan mengubah partikel dalam reaktor menjadi fasa plasma (partikel bermuatan). Secara bersamaan, arus plasma akan timbul dan menaikkan temperatur partikel- partikel bermuatan (plasma) yang terdapat dalam reaktor. Peristiwa ini dikenal sebagai pemanasan ohmic (ohmic heating).
Untuk mencapai suhu reaksi yang diinginkan (150 jutaoC), pemanasan ohamic harus ditambah pemanas gelombang elektromaknetik frekuensi tinggi dan injeksi balok netral. Reaksi fusi sendiri akan memproduksi panas dalam jumlah yang besar. Reaktor ITER membutuhkan daya sebesar 50 MW untuk menghasilkan reaksi fusi dan mampu memproduksi listrik 500 MW.
D Ilustrasi Perbedaan
Jika dibandingkan dengan proses fisi, reaksi fusi memiliki keunggulan pada pengaturan laju reaksi. Meski proses inisiasi (awal) relatif rumit, laju reaksi pada reaksi fusi lebih mudah di kontrol. Selain itu, kemungkinan adanya reaksi samping bisa dikatakan nyaris mendekati nol. Hampir seluruh reaksi akan mengikuti jalur reaksi tunggal. Kegagalan dalam bentuk apapun akan cepat mengkontaminasi plasma dalam reaktor yang berakibat padamnya reaksi fusi. Tidak ada reaksi berantai di sini yang dapat tumbuh secara eksponensial akibat kegagalan pengendalian titik kritis seperti pada reaktor fisi.
Reaktor fusi memiliki problem sampah nuklir yang jauh lebih rendah dari fisi. Dari dua bahan bakar raktor fusi, hanya tritium yang radioaktif dengan waktu paruh 12,5 tahun. Sampah radioaktif yang serius hanyalah material dinding reaktor yang menjadi radioaktif karena dihujani oleh partikel neutron. Namun, radiasi radioaktif yang akan lebih cepat stabil dibandingkan fisi, dalam kasus terburuk kurang dari 100 tahun. Sementara, sampah reaktor fisi radiasi radioaktif bisa berlansung selama ribuan tahun. Mayoritas sampah fusi dapat dikubur tidak terlalu dalam.
Reaksi fusi tidak menghasilkan ada emisi CO atau CO2 dan dampak lingkungannya jauh di dalam batas toleransi. Inilah energi bersih masa depan sehingga sudah sepantasnya Indonesia menunggu hasil penelitian ITER jika memang ingin membangun PLTN untuk energi nasional di masa mendatang. Sebagai antisipasi, Batan harus mulai mempelajari teknologi ini sehingga saat PLTN fusi komersial Indonesia telah memiliki SDM yang menguasai dasar-dasar dari teknologinya.
Prinsip Kerja PLTN
Prinsip kerja PLTN dimulai dari proses reaksi nuklir antara uranium dan partikel neutron dalam reaktor nuklir. Reaksi nuklir yang terjadi akan menghasilkan panas yang kemudian digunakan dalam proses pendidihan air untuk menghasilkan uap. Hasil berupa uap ini selanjutnya dialirkan melalui pipa-pipa untuk menggerakkan turbin untuk memproduksi listrik. Uap yang ada dalam ruang turbin kemudian dikondensasi agar kembali dalam bentuk air dan dipompakan kembali ke tangki reaktor.
Proses ini berjalan terus-menerus sehingga pemanfaatan panas dari reaktor dapat dilakukan secara berkesinambungan selama masih ada reaksi nuklir uranium dan neutron di reaktor. Sistem pendingin untuk proses kondensasi uap panas dilakukan dengan mengalirkan air dari sungai atau laut. Air pendingin ini bersikulasi dalam sistem sekunder yang sama sekali tidak berinteraksi dengan zat radioaktif sehingga tetap aman bagi lingkungan ketika dilepas keluar.
Panas dari raksi fisi dalam reaktor nuklir dapat diuraikan sebagai berikut : Apabila satu neutron tertangkap oleh inti atom U-235, inti atom akan terbelah menjadi 2 atau 3 bagian/fragmen. Energi yang semula mengikat fragmen tersebut diubah menjadi energi kinetik sehingga mereka bergerak dalam kecepatan tinggi. Karena fragmen-fragmen itu berada dalam struktur kristal uranium maka gerakannya akan diperlambat.
Dalam proses perlambatan inilah energi kinetik dikonversi menjadi energi panas (energi termal). Selain fragmen-fragmen tersebut reaksi pembelahan inti juga menghasilkan 2 atau 3 neutron yang dilepaskan dengan kecepatan 10.000 km/detik. Neutron-neutron ini disebut neutron cepat yang mampu bergerak bebas tanpa dirintangi oleh atom-atom uranium atau atom-atom kelongsongnya. Agar mudah ditangkap oleh inti atom uranium guna menghasilkan reaksi fisi, maka kecepatan neutron ini harus diperlambat. Zat yang dapat memperlambat kecepatan neutron disebut moderator.
Panas yang dihasilkan dari reaksi pembelahan didinginkan oleh air yang bertekanan 160 atm dan suhu 3000C secara terus-menerus dipompakan kedalam reaktor melalui saluran pendinginr eaktor. Tidak hanya sebagai pendingin air ini juga berfungsi sebagai moderator, yaitu medium yang memperlambat neutron.
Neutron cepat akan kehilangan energinya selama menumbuk atom-atom hidrogen, setelah kecepatannya turun sampai 2.000 m/detik atau sama dengan kecepatan molekul gas pada suhu 300oC barulah neutron mampu membelah inti atom U-235. Neutron yang telah diperlambat ini disebut neutron termal dan menvebabkan terjadinya reaksi berantai. Reaksi berantai dapat berlangsung dalam waktu singkat dan menghasilkan energi yang sangat besar. Untuk dapat dimanfaatkan tenaga panasnya reaksi berantai yang berlangsung di reaktor nuklir harus dikendalikan sehingga dihasilkan energi yang sesuai dengan kebutuhan.
Oleh : ahmad senoadi
Dari berbagai sumber.
Reaktor jenis ini memanfaatkan air (H20) sebagai pendingin dan moderator. Panas yang dihasilkan oleh reaksi fisi diserap oleh air hingga mendidih dan berubah menjadi uap. Uap inilah yang akan dimanfaatkan menggerakkan turbin hingga menghasilkan listrik. Uap dari turbin didinginkan sehingga berubah menjadi air dan dipompa kembali ke dalam reaktor. Reaktor BWR hanya memiliki satu sistem sirkulasi pendingin.
2.2 Reaktor Air Bertekanan (Pressurized Water Reactor/PWR)
Reaktor PWR menggunakan air sebagai pendingin. Ada dua sistem sirkulasi pendingin, yaitu primer dan sekunder. Sistem pendingin primer berisi air yang berhubungan langsung dengan sumber panas (reaktor). Sistem pendingin primer akan berhubungan dengan sistem pendingin sekunder. Panas dari sistem pendingin primer akan dimanfaatkan oleh sistem pendingin sekunder untuk menghasilkan uap dan menggerakkan generator. Generator inilah yang akan menghasilkan listrik.
2.3 Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurized Heavy-Water Reactor/PHWR)
Prinsip kerjanya mirip dengan jenis PWR, namun pendinginnya menggunakan air berat (D2O).
2.4 Reaktor Berpendingin Gas (Gas Cooled Reactor/GCR)
Reaktor GCR menggunakan gas CO2 yang disirkulasikan ke dalam bahan bakar reaktor sebgai pendingin siklus primer. Gas panas yang keluar dari reaktor kemudian masuk dalam steam generator untuk menghasilkan uap pada siklus sekunder yang menggunakan air sekaligus mendinginkan gas CO2 tersebut sebelum kembali masuk ke dalam reaktor. Pada time ini, grafiit digunakan sebagai moderator.
2.5 Reaktor Grafit Berpendingin Air (Light Water Graphite Reactor/LWGR)
Reaktor ini mempergunakan grafit sebagai moderator dan air sebagai pendingin. Air pendingin dibiarkan mendidih di dalam reaktor dan uapnya kemudian dipisahkan dari air dalam wadah uap. Uap kemudian dipergunakan untuk menggerakkan turbin.
2.6 Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor/FBR)
Reaktor ini mempergunakan plutonium (Pu-239) sebagai bahan bakar. Plutonium ditempatkan di bagian tengah inti reaktor, kemudian disebelah luarnya dikelilingi oleh U-238. Uranium 238 menyerap neutron yang berasal dari reaksi fisi bagian tengah reaktor, sehingga berubah menjadi Pu-239. Produksi Pu-239 inilah yang dikenal sebagai pembiakan bahan bakar. Dengan tanpa adanya moderator di dalam reaktor untuk menurunkan energi neutron membuat reaktor ini disebut pembiak cepat. Sebagai pendingin dipakai logam cair sodium (Na) yang tidak bersifat memoderasi dan tahan terhadap temperatur ekstrim di dalam reaktor.
2.7 Reaktor Pebble Bed (Pebble Bed Reactor/PBR)
Reaktor ini menggunakan bahan bakar keramik uranium, plutonium, dan thorium berbentuk bola (pebble). Bola-bola diletakkan ke dalam silinder reaktor yang bagian bawahnya berbentuk seperti corong sebagai tempat keluarnya bahan bakar yang sudah habis terpakai. Gas helium yang dialirkan di sela-sela tumpukan bola-bola keramik berfungsi sebagai pendingin yang menyerap panas hasil reaksi fisi untuk kemudian dipindahkan ke air pendingin melalui steam generator. Grafit pada struktur bahan bakar atau bola-bola grafit yang dicampur dengan bola-bola bahan bakar berfungsi sebagai moderator. Aliran tipikal dari pebble ini adalah satu pebble setiap menit.
B. Fisi Thorium
Seperti Uranium dan Plutonium, Thorium bisa dijadikan bahan bakar nuklir. Isotop yang didapat di dalam Thorium dapat digunakan untuk proses fisi. Teknologi PLTN fisi berbahan bakar Thorium disebut-sebut cocok bagi Indonesia. Para penggiat PLTN fisi menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi Thorium yang sangat besar di Bangka Belitung,Kalimantan, Riau, dan Halmahera. Potensinya disebut-sebut bisa digunakan hingga 100 tahun. Thorium memiliki energi 200 kali lebih besar dibandingkan Uranium, menghasilkan limbah radiasi yang lebih sedikit, lebih aman (bisa menyelamatkan diri sendiri), dan tidak bisa digunakan sebagai wahana memproduksi senjata nuklir.
Proses fisi yang terjadi pada Thorium tidak menghasilkan neutron yang cukup untuk membelah inti atom secara mandiri. Neutron harus selalu disediakan secara terus menerus dari luar untuk ditembakkan dan membelah inti atom. Artinya, reaktor berbahan bakar Thorium tidak menghasilkan reaksi berantai. Bila sumber neutron disingkirkan, reaksi fisi dalam reaktor akan mati. Bila reaktor mengalami kelebihan panas, sumbat kecil di bawah bejana pengungkung reaktor akan meleleh dan larutan garam thorium mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki bawah tanah yang telah disediakan. Reaktor tidak memiliki potensi menghasilkan gas hidrogen yang dapat meledak. Inilah mengapa PLTN berbahan bakar Thorium disebut lebih aman dibanding Uranium dan Plutonium.
Ada dua negara yang saat ini yang mengembangkan potensi Thorium secara agresif, yaitu India dan China. Kedua negara ini memiliki potensi Thorium yang sangat besar, India 846.000 ton (terbesar di dunia) dan China 100.00 ton (urutan 12). Pemerintah India mengumumkan akan menggunakan potensi Thorium untuk mendukung Uranium dalam peningkatan peran PLTN. India menggunakan teknologi Reaktor Uranium dengan beberapa modifikasi untuk PLTN berbahan bakar Thorium.
Gabungan PLTN berbahan bakar Thorium dan Uranium diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih besar di masa mendatang. India menargetkan akan menaikkan kapasitas PLTN terpasang saat ini sebesar 7.000 MW menjadi 30.000 MW pada 2020 dan 50.000 MW pada 2030. Hal serupa dilakukan oleh China. Saat ini China mempunyai 20 PLTN dan membangun 28 PLTN. Target yang ditetapkan Pemerintah China adalah memiliki PLTN berkapasitas 60.000 MW pada 2020 dan 150.000 MW di 2030.
Permasalahannya, teknologi PLTN berbahan bakar Thorium belum tersedia secara komersial atau masih dalam skala laboratrium. Ada beberapa negara yang telah memiliki PLTN Thorium, diantaranya India dan Kanada, tapi dalam skala yang kecil dan belum teruji secara komersial. Potensi Thorium sebenarnya sudah diteliti sejak lama. Amerika Serikat telah mengadakan percobaan reaktor garam cair (MSR) kapasitas 8 MW di Oak Ridge National Laboratory (ORNL) tahun 1960 sebagai bagian dari program pengembangan teknologi reaktor. Reaktor tesebut merupakan reaktor garam cair yang pertama di dunia dan berdasarkan siklus thorium. Namun, sampai saat ini Amerika Serikat tidak memiliki PLTN berbahan bakar Thorium dalam skala komersial. Amerika Serikat disebut-sebut tidak melanjutkan risetnya karena belum bisa menyelesaikan kendala teknis untuk membangun PLTN Thorium skala komersial.
Ketiadaan teknologi skala komersial inilah yang membuat China mengucurkan dana U$350 juta untuk riset PLTN berbahan bakar Thorium di Thorium Molten Salt Reactor Center. Dana sebagian besar digunakan untuk menambah SDM ahli nuklir di bidang Thorium. Pakar nuklir China menilai PLTN Thorium memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Proyek PLTN Thorium China disebut sebagai keindahan ilmu pengetahuan tapi mimpi buruk bagi para ahli nuklir.[ Professor Gu Zhongmao, China Institute of Atomic Energy.] Tantangan masa depan PLTN Thorium adalah pancaran radiasi gamma sebagai hasil sampingan reaksi fisi di reaktor mencapai 10 kali lebih besar dibandingkan Uranium. Akibatnya, desain PLTN harus memiliki tameng radiasi yang lebih tebal. Faktor laju korosi yang tinggi pada PLTN juga masih menjadi tantangan yang hingga kini masih menjadi pemikiran para ahli nuklir dunia.
C Fusi Deutrium
Energi nuklir fusi telah menjadi impian dunia sejak lama. Tahun 1985, ITER (International Thermonuclear Experimental Reactor) dibentuk dan kini beranggotakan Uni Eropa, Amerika Serikat, Rusia, China, India, Jepang, dan Korea Selatan. ITER menjanjikan tahun 2050 PLTN fusi berteknologi tokamak sudah bisa digunakan secara komersial. Saat ini, ITER sedang membangung proyek eksperimental PLTN fusi berkapasitas 2.000-4.000 MW di Prancis. Proyek eksperimental ini mulai dibangun pada 2010 dan ditargetkan selesai 2019. Operasional rekasi fusi deuterium dan tritium ditargetkan 2027 sementara produksi listrik untuk sistem listrik di Prancis diharapkan pada 2040.
Bahan baku utama PLTN fusi adalah deuterium dan tritium yang sangat berlimpah di bumi, termasuk Indonesia. Deuterium dapat diekstraksi dari air laut melalui metode elektrolisis dimana setiap satu meter kubik air mengandung 30 gram deuterium. Jika seluruh listrik di muka bumi ini dibangkitkan oleh reaktor fusi maka cadangan deuterium akan mencukupi kebutuhan lebih dari sejuta tahun. Tritium harus diproduksi (dibiakkan) dalam reaktor dengan lithium. Lithium adalah metal yang paling ringan yang cukup banyak ditemukan pada kulit bumi serta dalam konsentrasi rendah di lautan. Cadangan lithium yang telah diketahui hingga saat ini dapat mencukupi kebutuhan selama lebih dari 1000 tahun.
Reaktor fusi yang diteliti oleh ITER menggunakan teknologi ekspansi tokamak yang menjalankan proses tokamak dan reaksi fusi. Tokamak adalah teknologi untuk menghasilkan kondisi ideal bagi reaksi fusi. Tokamak ditemukan oleh Igor Yevgenyevich Tamm dan Andrei Sakharov sekitar tahun 1950 dan merupakan teknologi reaksi fusi yang paling populer saat ini. Reaksi fusi membutuhkan temperatur, tekanan, dan kerapatan bahan bakar ekstrim tinggi sehingga bisa mengatasi gaya tolak-menolak coulomb akibat muatan proton yang menjadi luar biasa besar dalam reaksi nuklir. Reaksi fusi di matahari merupakan acuan dari teknologi fusi.
Di dalam inti matahari, temperatur antara 15-20 juta derajat Celsius, tekanan gravitasi sekitar seperempat triliun atmosfir, serta kerapatan yang mencapai delapan kali kerapatan emas. Kondisi ini telah menjamin berlangsungnya fusi inti-inti hidrogen menjadi inti helium secara kontinu selama milyaran tahun. Tentu saja kondisi tersebut sulit dicapai di atas permukaan bumi, ITER menggunakan teknologi tokamak untuk menciptakan syarat tersebut.
Tokamak adalah reaktor berongga toroidal (berbentuk donat) yang diselimuti oleh gulungan-gulungan kawat bermuatan magnet (magnetic confinement). Cara kerja tokamak mirip seperti alat pemanas dimana medan elektrik yang dihasilkan oleh gulungan kawat akan mengubah partikel dalam reaktor menjadi fasa plasma (partikel bermuatan). Secara bersamaan, arus plasma akan timbul dan menaikkan temperatur partikel- partikel bermuatan (plasma) yang terdapat dalam reaktor. Peristiwa ini dikenal sebagai pemanasan ohmic (ohmic heating).
Untuk mencapai suhu reaksi yang diinginkan (150 jutaoC), pemanasan ohamic harus ditambah pemanas gelombang elektromaknetik frekuensi tinggi dan injeksi balok netral. Reaksi fusi sendiri akan memproduksi panas dalam jumlah yang besar. Reaktor ITER membutuhkan daya sebesar 50 MW untuk menghasilkan reaksi fusi dan mampu memproduksi listrik 500 MW.
D Ilustrasi Perbedaan
Jika dibandingkan dengan proses fisi, reaksi fusi memiliki keunggulan pada pengaturan laju reaksi. Meski proses inisiasi (awal) relatif rumit, laju reaksi pada reaksi fusi lebih mudah di kontrol. Selain itu, kemungkinan adanya reaksi samping bisa dikatakan nyaris mendekati nol. Hampir seluruh reaksi akan mengikuti jalur reaksi tunggal. Kegagalan dalam bentuk apapun akan cepat mengkontaminasi plasma dalam reaktor yang berakibat padamnya reaksi fusi. Tidak ada reaksi berantai di sini yang dapat tumbuh secara eksponensial akibat kegagalan pengendalian titik kritis seperti pada reaktor fisi.
Reaktor fusi memiliki problem sampah nuklir yang jauh lebih rendah dari fisi. Dari dua bahan bakar raktor fusi, hanya tritium yang radioaktif dengan waktu paruh 12,5 tahun. Sampah radioaktif yang serius hanyalah material dinding reaktor yang menjadi radioaktif karena dihujani oleh partikel neutron. Namun, radiasi radioaktif yang akan lebih cepat stabil dibandingkan fisi, dalam kasus terburuk kurang dari 100 tahun. Sementara, sampah reaktor fisi radiasi radioaktif bisa berlansung selama ribuan tahun. Mayoritas sampah fusi dapat dikubur tidak terlalu dalam.
Reaksi fusi tidak menghasilkan ada emisi CO atau CO2 dan dampak lingkungannya jauh di dalam batas toleransi. Inilah energi bersih masa depan sehingga sudah sepantasnya Indonesia menunggu hasil penelitian ITER jika memang ingin membangun PLTN untuk energi nasional di masa mendatang. Sebagai antisipasi, Batan harus mulai mempelajari teknologi ini sehingga saat PLTN fusi komersial Indonesia telah memiliki SDM yang menguasai dasar-dasar dari teknologinya.
Prinsip Kerja PLTN
Prinsip kerja PLTN dimulai dari proses reaksi nuklir antara uranium dan partikel neutron dalam reaktor nuklir. Reaksi nuklir yang terjadi akan menghasilkan panas yang kemudian digunakan dalam proses pendidihan air untuk menghasilkan uap. Hasil berupa uap ini selanjutnya dialirkan melalui pipa-pipa untuk menggerakkan turbin untuk memproduksi listrik. Uap yang ada dalam ruang turbin kemudian dikondensasi agar kembali dalam bentuk air dan dipompakan kembali ke tangki reaktor.
Proses ini berjalan terus-menerus sehingga pemanfaatan panas dari reaktor dapat dilakukan secara berkesinambungan selama masih ada reaksi nuklir uranium dan neutron di reaktor. Sistem pendingin untuk proses kondensasi uap panas dilakukan dengan mengalirkan air dari sungai atau laut. Air pendingin ini bersikulasi dalam sistem sekunder yang sama sekali tidak berinteraksi dengan zat radioaktif sehingga tetap aman bagi lingkungan ketika dilepas keluar.
Panas dari raksi fisi dalam reaktor nuklir dapat diuraikan sebagai berikut : Apabila satu neutron tertangkap oleh inti atom U-235, inti atom akan terbelah menjadi 2 atau 3 bagian/fragmen. Energi yang semula mengikat fragmen tersebut diubah menjadi energi kinetik sehingga mereka bergerak dalam kecepatan tinggi. Karena fragmen-fragmen itu berada dalam struktur kristal uranium maka gerakannya akan diperlambat.
Dalam proses perlambatan inilah energi kinetik dikonversi menjadi energi panas (energi termal). Selain fragmen-fragmen tersebut reaksi pembelahan inti juga menghasilkan 2 atau 3 neutron yang dilepaskan dengan kecepatan 10.000 km/detik. Neutron-neutron ini disebut neutron cepat yang mampu bergerak bebas tanpa dirintangi oleh atom-atom uranium atau atom-atom kelongsongnya. Agar mudah ditangkap oleh inti atom uranium guna menghasilkan reaksi fisi, maka kecepatan neutron ini harus diperlambat. Zat yang dapat memperlambat kecepatan neutron disebut moderator.
Panas yang dihasilkan dari reaksi pembelahan didinginkan oleh air yang bertekanan 160 atm dan suhu 3000C secara terus-menerus dipompakan kedalam reaktor melalui saluran pendinginr eaktor. Tidak hanya sebagai pendingin air ini juga berfungsi sebagai moderator, yaitu medium yang memperlambat neutron.
Neutron cepat akan kehilangan energinya selama menumbuk atom-atom hidrogen, setelah kecepatannya turun sampai 2.000 m/detik atau sama dengan kecepatan molekul gas pada suhu 300oC barulah neutron mampu membelah inti atom U-235. Neutron yang telah diperlambat ini disebut neutron termal dan menvebabkan terjadinya reaksi berantai. Reaksi berantai dapat berlangsung dalam waktu singkat dan menghasilkan energi yang sangat besar. Untuk dapat dimanfaatkan tenaga panasnya reaksi berantai yang berlangsung di reaktor nuklir harus dikendalikan sehingga dihasilkan energi yang sesuai dengan kebutuhan.
Oleh : ahmad senoadi
Dari berbagai sumber.
1 comments: