Upaya efisiensi penggunaan energi primer berupa batubara terus diupayakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau sering disingkat PLN. BUMN listrik kebanggaan indonesia ini telah mendekati investor pemilik teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang irit batubara. Langkah yang diambil adalah pemilihan teknologi Ultra Supercritical Coal (USC) yang dimiliki oleh beberapa perusahaan Jepang.
Berita ini dimunculkan oleh Tribunnews 10 April 2014. Demi mengurangi penggunaan batubara di dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bekerja sama dengan 30 investor asal Jepang. Rencananya kerjasama ini untuk membangun PLTU bertekn, ologi Ultra Supercritical Coal (USC) alias teknologi yang menggunakan lebih sedikit batubara.
Adapun skemanya akan berbentuk Joint Crediting Mechanism (JCM) Indonesia-Jepang yang melibatkan beberapa perusahaan besar asal Jepang dan PLN. Perusahaan asal Jepang yang berminat untuk bekerjasama dengan PLN di antaranya adalah Shimizu, Mitsubishi, Yokogawa, Mitsui, Kyusu Electric, dan masih banyak lagi. Nasri Sebayang, Direktur Konstruksi PLN menjelaskan, pembangunan PLTU dengan teknologi USC memang membutuhkan dana lebih mahal. Sebab, membangun PLTU biasa hanya habis US$ 1,5 juta per Megawatt (MW). “Kalau membangun PLTU berteknologi USC biasanya US$ 2 juta per MW,” ungkap seperti dikutip KONTAN.
Seperti diketahui khalayak umum, teknologi tinggi harus dikompensasi dengan biaya yang relatif mahal. Namun, penggunaan teknologi yang lebih tinggi dipastikan akan menghemat pemakaian batubara. Tidak semua pembangkit akan lebih efisien secara biaya jika menggunakan teknologi USC. Pada pembangkit kecil (dibawah 600 MW) biaya untuk membeli teknologi USC lebih tinggi dari efisiensi pengurangan konsumsi batubara. Namun, untuk pembangkit jenis PLTU berkapasitas 600 MW, 800 MW, dan 1.000 MW, biaya yang harus dikeluarkan untuk teknologi USC lebih rendah dibanding penghematan konsumsi batubara. Dengan kata lain, nilai penurunan konsumsi lebih besar dibanding biaya penggunaan teknologi USC. Menurut Direktur Konstruksi PLN, PLTU yang menggunakan teknologi USC ini bisa menghemat sekitar 20% penggunaan bahan bakar batubara dibandingkan dengan pemakaian batubara pada PLTU biasa. “Dengan demikian, ke depan pengeluaran PLN untuk pembelian batubara bisa lebih murah,” ungkap dia.
Nasri mengungkapkan, alasan PLN bekerjasama dengan beberapa perusahaan besar Jepang itu lantaran sudah menggunakan teknologi USC dalam PLTU milik mereka. “Di Jepang dengan pembangkit seperti itu bisa menghasilkan banyak listrik tetapi hanya membakar sedikit batubara,” ungkap dia.
Realisasi pembangunan PLTU ini, menurut Nasri, kini masih dalam tahap kajian. PLTU tersebut akan dibangun terutama untuk Sumatra dan daerah lain di Sulawesi, Jawa, dan Kalimantan. Nasri menambahkan, tahun ini ada tahap pelaksanaan tender dan tahun depan mulai pelaksanaan pembangunannya. Targetnya, PLTU berteknologi baru itu beroperasi paling lambat tahun 2019.
Jarman, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, bilang PLTU berteknologi USC sudah ada yang beroperasi, yakni PLTU Cirebon (660 MW) dan PLTU Paiton expansion (850 MW). “Yang
bakal dibangun PLTU Batang (2×1.000 MW), dan PLTU Cirebon expansion (1.000 MW),” kata dia.
Efisiensi Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditujukan agar terjadi pengurangan pemakaian batubara oleh PLN, namun listrik yang dihasilkan tetap. Efisiensi yang fokus untuk mengurangi batubara tidak otomatis membuat kapasitas pembangkit jika dilakukan menggunakan teknologi yang lebih tinggi. Harapannya, pengurangan pemakaian batubara akan menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan PLN untuk menghasilkan listrik yang hasilnya diperuntukan bagi masyarakat.
Seperti diketahui bahwa sebagian besar pembangkit listrik milik PLN saat ini berbahan bakar batubara. Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) mendominasi jumlah kapasitas pembangkit listrik di Indonesia. Menurut statistik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) persero kapasitas pembangkit jenis ini per Desember 2015 mencapai 21 ribu GW atau setara dengan 40 persen dari total kapasitas pembangkit yang terpasang sebesar 52,9 GW.
Selama 2015, jumlah energi listrik produksi sendiri (termasuk sewa) sebesar 176.472,21 GWh meningkat 0,67 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 61,55 persen diproduksi oleh PLN Holding, dan 38,45 persen diproduksi anak perusahaan yaitu PT Indonesia Power, PT PJB, PT PLN Batam dan PT PLN Tarakan.
Apa teknologi Ultra Supercritical Coal (USC) ?
Catatan PLN lainnya adalah dibandingkan tahun sebelumnya pangsa pasar pembangkit bahan bakar minyak dan air mengalami penurunan, sedangkan pangsa gas alam, batubara, dan panas bumi mengalami peningkatan. Peningkatan pembangkit batubara sejalan dengan program pemerintah menambah jumlah pembangkit melalui program 10 ribu MW tahap I.
Teknologi USC pada PLTU adalah pembakaran batubara untuk memanaskan air pada suku dan tekanan diatas titik kritis air, yaitu 600-700 derajat ceslsius dan tekanan 459-457 bar. Dengan dengan suhu dan tekanan yang besar didapat efisiensi 40% keatas, atau 40 persen lebih energi batubara yang bisa diubah menjadi listrik. Sementara, PLTU konfensional memanfaatkan batubara untuk mendapatkan panas pada titik kritis air, yaitu 540 derajat selsius dan tekanan 180 bar. PLTU konvensional mendapatkan efisiensi rata-rata 35 persen. Jadi teknologi USC unggul efisiensi sekitar 10 persen atau lebih.
Banyak negara maju telah menggunakan teknologi USC pada PLTU mereka, seperti di Jerman, Amerika, dan negara-negara maju lainnya seperti Jepang. Peremajaan PLTU dan pembangunan PLTU baru di negara maju hampir semuanya menggunakan teknologi USC. Selain efisiensi bahan bakar, suhu yang lebih tinggi dapat dimanfaatkan untuk menekan polusi yang dihasilkan PLTU.
Teknologi USC telah dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Amerika Serikat dan Eropa. Saat itu, tantangan utama adalah mengembangkan komponen PLTU yang lebih tahan terhadap suhu yang tinggi. Penggunaan nikel sebagai bahan pada saat itu masih jadi kendala karena mahal sehingga tingkat keekonomian PLTU menjadi tidak layak. Namun, saat ini permasalahan ini telah dapat diatasi. Meski begitu, pembangunan PLTU USC tetap lebih mahal dibandingkan PLTU konvensional. Namun, ini dapat dikompensasi dengan rendahnya biaya produksi dari penghematan batubara.
Oleh : Ahmad Senoadi
Dari berbagai sumber.
0 comments